Yogyakarta, 7 November 2025 — Himpunan Mahasiswa Program Studi Musik (HIMA Musik) ISI Yogyakarta sukses menyelenggarakan seminar bertajuk “Ngelmu Pring: Lentur di Tengah Teguh – Menjaga Akar Tradisi Musik di Era Modern”. Acara ini berlangsung pada Jumat (7/11/2025) di Gedung Kuliah Umum Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta, dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen, serta pegiat seni dari berbagai bidang.
Kegiatan menghadirkan Paksi Raras Alit, pegiat budaya, musik, dan sastra Jawa yang dikenal dengan pemikirannya tentang hubungan antara tradisi dan modernitas. Dalam kesempatan ini, Paksi mengusung tema “Hibriditas Seni”—sebuah gagasan yang menyoroti bagaimana tradisi dan modernitas dapat saling berinteraksi, berbaur, dan melahirkan bentuk-bentuk ekspresi seni baru tanpa kehilangan akar nilai budaya.
Seminar dibuka dengan sambutan dari Muhammad Dika Aldhiansyah, Ketua HIMA Musik ISI Yogyakarta, yang menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi wadah refleksi bagi mahasiswa untuk memahami hubungan antara tradisi dan praktik musik masa kini.
“Melalui seminar ini, kami ingin membuka ruang berpikir bagi kita semua agar tidak hanya fokus pada teknik bermusik, tetapi juga memahami akar budaya dan nilai yang menyertai musik Indonesia,” ujarnya.

Muhammad Dika Aldhiansyah
Selanjutnya, Kustap, S.Sn., M.Sn., selaku Ketua Program Studi Musik ISI Yogyakarta, memberikan apresiasi atas inisiatif HIMA dalam menghadirkan kegiatan akademik yang relevan dengan arah keilmuan prodi. Ia menegaskan bahwa Prodi Musik ISI Yogyakarta memiliki core keilmuan pada bidang musikologi, yakni kajian tentang musik dalam konteks sosial, budaya, dan estetika.
“Melalui kajian musikologi, mahasiswa diajak untuk memahami musik tidak hanya sebagai bunyi atau teknik, tetapi juga sebagai fenomena budaya yang terus berkembang. Seminar seperti ini memperkuat posisi Prodi Musik sebagai ruang dialog antara ilmu dan praktik seni,” tuturnya.

Kustap, S.Sn., M.Sn.
Dalam sesi diskusi, Paksi menyoroti pentingnya kesadaran reflektif dalam menghadirkan karya musik baru yang tetap berpijak pada nilai-nilai tradisi. Ia mengajak mahasiswa untuk melihat modernitas bukan sebagai ancaman, melainkan peluang untuk menegosiasikan identitas budaya melalui karya yang kontekstual.
“Hibriditas adalah jembatan, bukan penghapusan tradisi, tapi cara baru untuk menjaganya tetap hidup,” tambahnya.

Menurut Paksi, konsep hibriditas seni mencerminkan kelenturan tradisi dalam menghadapi perubahan zaman. Ia mengaitkan gagasan ini dengan filosofi “Ngelmu Pring”, atau ilmu bambu, yang menjadi simbol keseimbangan antara keteguhan dan kelenturan.
“Bambu itu lentur namun kuat. Begitu pula tradisi, ia bisa menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa kehilangan akarnya. Hibriditas seni bukan sekadar percampuran, tetapi pertemuan nilai antara masa lalu dan masa kini,” ungkapnya.
Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan dan tanggapan yang muncul dalam sesi dialog. Mahasiswa menyampaikan pandangan bahwa gagasan hibriditas seni membuka perspektif baru dalam memahami posisi tradisi di tengah dinamika musik modern.
Dengan terselenggaranya seminar “Ngelmu Pring” ini, HIMA Musik ISI Yogyakarta menegaskan komitmennya untuk menghadirkan ruang diskusi yang kritis dan inspiratif. Kegiatan ini menjadi bukti bahwa kajian musik di ISI Yogyakarta tidak hanya berfokus pada praktik, tetapi juga pada pemikiran yang memperkuat identitas dan arah perkembangan musik di Indonesia. (redaksi – tim humas prodi musik)